Thursday, October 22, 2009

Emotional Branding (Pembentukan merek dengan nuansa emosional) - 2

Judul tersebut diambil dari judul buku “Emotional branding: paradigma untuk menghubungkan merek dengan pelanggan buku”, penulis: Marc Gobe, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2005, dengan alih bahasa: Bayu Mahendra. 332 halaman termasuk indeks, ditambah 37 halaman pendahuluan.

“Dewasa ini, saya merasa pendekatan Emotional Branding merupakan elemen penentu yang sangat penting yang membedakan merek yang sukses dengan merek yang biasa di pasar. Namun hanya sedikit perusahaan yang memahami seni menilai - dengan kecerdasan dan kepekaan - kekuatan sejati di balik emosi manusia. Emotional Branding memberikan lapisan kredibilitas dan kepribadian yang baru pada sebuah merek, dengan menghubungkan merek dengan orang-orang pada tatanan pribadi dan holistic. Emotional Branding didasarkan pada rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan sebuah audiens. Pendekatan ini meningkatkan pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi pembelian yang muncul dalam hasrat. Komitmen pada sebuah produk atau intuisi, kebanggaan yang kita rasakan saat menerima hadiah yang cantik dari merek yang kita senangi atau pengalaman berbelanja yang positif dalam sebuah lingkungan yang menakjubkan ketika seseorang mengetahui nama kita atau membawakan secangkir kopi untuk memberikan kita kejutan yang menyenangkan - perasaan-perasaan ini merupakan inti dari Emotional Branding” (Marc Gobe, Emotional Branding, www,emotionalbranding.com)

Emotional Branding merupakan elemen penentu yang sangat penting yang membedakan merek yang sukses dengan merek biasa di pasar. Emotional Branding memberikan lapisan kredibilitas dan kepribadian yang baru pada sebuah merek, dengan menghubungkan merek dengan orang-orang pada tataran pribadi dan holistic. Emotional Branding didasarkan pada rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan sebuah audiens. Pendekatan ini meningkatkan pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi pembelian yang muncul dari alam hasrat. Strategi merek yang yang terintegrasi merupakan jantung dari emotional branding.

Tujuan emotional branding adalah melahirkan desain merek yang dapat membuat jantung pelanggan berdetak lebih cepat – menciptakan desain yang didasarkan pada pengalaman sensorial dan pemahaman atas keinginan emosional yang paling dalam. Emotional branding didasarkan pada kepercayaan unik yang dibangun bersama audensi. Emotional branding meningkatkan penjualan atas dasar kebutuhan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Emotional branding terkait dengan membangun hubungan dengan pelanggan yaitu memberikan nilai jangka panjang pada merek dan produk, terkait dengan pengalaman inderawi, desain yang membuat consumer merasakan produk, desain yang membuat consumer membeli produk.

Salah satu bentuk Emotional Branding adalah dalam kemasan (packaging), sebagai komponen utama desain merek. Menurut Marc, kemasan bukan sekedar warna-warna dan desain-desain tradisional melainkan untuk mengkomunikasikan esensi prouk demi mendapatkan hubungan yang bersifat emosional dengan pelanggan. Hal ini karena desain merek dalam pengemasan adalah bagian vital dalam pemasaran. Desain merek harus dapat menerjemahkan makna dari merek kepada pelanggan kapan saja dan dimana saja. Oleh karena itu tugas para desainer adalah menjadi duta antara perusahaan dan pasar, peran penghubung yang menciptakan bahasa dari keindahan dan emosi.

Emotional branding bukan sekedar proses atau teknik riset, melainkan didasarkan pada hubungan antara manusia yang lebih dari sekedar data dan grafik. Ini adalah budaya dan cara hidup; keyakinan fundamental bahwa manusia adalah kekuatan sesungguhnya dalam perdagangan.

Dalam buku tersebut berisi diskusi dan analisa perubajan-perubahan demografis serta munculnya budaya baru yang kuat dan tidak bisa dihindari dalam sebuah pasar revolusioner. Dijelaskan pula bagaimana pemimpin dalam “perekonomian yang dibentuk atas dasar emosi” yang ada pada saat ini, di mana visi mereka menjadikan lingkungan kita sekarang menjadi lebih menyenangkan, lebih menarik dan dapat memberikan lebih pada kita semua. Di bagian akhir, penulis mengungkapkan sejumlah penelitian dan teknik riset rahasia yang penulis miliki selama ini.

Tuesday, October 20, 2009

BrandDictionary™

Berikut ini merupakan definisi-definisi untuk membantu anda berpikir seperti merek sejati. Diambil dari buku The Brand Mindset, karangan Duane E. Knapp, penerbit Andi Yogyakarta, tahun 2001.

Brand Mindset™ : Kemampuan untuk berpikir seperti sebuah merek.

Brand Promise™ : Intisari dari manfaat-manfaat merek – fungsional dan emosional – yang diharapkan diterima pelanggan saat ini dan pelanggan potensial saat mengalami produk dan jasa sebuah merek

Doktrin BrandStrategy™ : Rencana tindakan menyeluruh yang digunakan oleh organisasi untuk menentukan intisarinya (Brand Promise™). Menciptakan perubahan paradigma dan suatu “posisi terhormat” (keunggulan kompetitif yang terus-menerus) dan mengoptimalkan ekuitas merek keseluruhan.

Brand Advantage : Hasil dari peningkatan, pemeliharaan, dan inovasi yang konsisten dari suatu merek.

Brand Alliances : Pemanfaatan merek-merek lain yang tepat untuk mempertinggi ekuitas merek organisasi.

Brand Assessment : Suatu analisis yang obyektif terhadap persepsi dan kesan dari merek.

Brand Blueprint : 1. Proses tindakan disiplin yang diperlukan untuk menciptakan, merencanakan, mendesain dan membangun merek. 2. Karakter dan struktur dari representasi-representasi merek, yaitu, arsitektur merek (nama merek, byline, tagline, brand promise, dan penyajian grafis).

Brand Bribery : Praktek “buying loyalty” oleh beberapa merek, khususnya merek-merek yang dianggap sebagai komoditi, bila merek tidak mampu atau tidak bersedia menawarkan BrandPromise™ yang khusus.

Brand Byline : Kata-kata yang digunakan untuk mendeskripsikan produk untuk mengkomunikasikan dengan jelas kepada pelangggan potensial.

Brand Culturization : Untuk mendorong karyawan dan perusahaan mengenai jumlah total keyakinan, perilaku, dan karakteristik cara-cara dari suatu merek.

Brand Discipline : Mengambil keputusan seperti merek; menggunakan fakta-fakta bisnis, riset pasar dan riset pelanggan, dan keahlian merek.

Brand Drivers (Penggerak Merek) : Cara-cara kunci dari merek dalam mengkomunikasikan manfaat untuk membangun dan mempertinggi ekuitas merek yang mencangkup kualitas yang dirasakan, asosiasi merek, kesadaran nama, brand loyalty dan aset kepemilikan lainnya.

Brand Equity : Penilaian merek berdasarkan totalitas dari persepsinya, meliputi kualitas relatif dari produk-produk dan jasa-jasanya, kinerja keuangan, loyalitas pelanggan, kepuasan, penghargaan dan sebagainya.

Brand Focus : Proses pemikiran terkonsentrasi yang mempertahankan Doktrin BrandStrategy sebagai fokus utama dari rencana bisnis dan anggaran organisasi, dan tidak dengan cara yang lain.

Brand Leverage : Mengembangkan rencana yang disusun untuk mengoptimalkan ukuran penghargaan merek dan nilai relatif terhadap lingkup bisnisnya.

Brand Loyalty : Bila pelanggan memiliki perasaan positif terhadap merek dan menggunakan produk dan jasa merek tersebut secara teratur. Hasil yang diharapkan bila merek menjadi prioritas pilihan dan dianggap ”teman” bagi pelanggan.

Perubahan Paradigma Brand : 1. Suatu perubahan fundamental dalam suatu bisnis atau model strategik. 2. Suatu perubahan fundamental dan penting dalam kekhususnya merek yang dirasakan.

Brand Tag Line : Suatu urutan kata-kata atau suku kata pendek yang ekspresif yang digunakan untuk mengkomunikasikan atau mendramatisir manfaat-manfaat fungsional dan emosional dari merek bagi para pelanggan dan pelanggan potensial dalam usaha untuk mempengaruhi perasaan para konsumen terhadap merek tersebut.

Brand Value : Perasaan pelanggan yang muncul dari pengalaman mereka terhadap suatu merek.

D.R.E.A.M : Singkatan bagi penentu-penentu pembangunan merek sejati: Differentiation (Diferensiasi), Relevance (Relevansi), Esteem (Penghargaan), Awareness (kesadaran), dan Mind’s Eye (Pikiran).

FutureBrand™ : Penyajian kreatif dari suatu ide pembuatan merek yang membujuk, yang menggambarkan aspirasi-aspirasi dari strategi bisnis dengan cara yang benar-benar berbeda dari cara saat ini dan masa depan.

Genuine Brand : Internalisasi jumlah dari semua kesan para pelanggan dan konsumen, yang menghasilkan posisi khusus di benak konsumen berdasarkan manfaat-manfaat emosional dan fungsional yang dirasakan.

Mind’s Eye : Posisi yang ditempati oleh merek dalam benak konsumen

Private Brand : Deskripsi yang digunakan untuk menunjukkan kepada jenis-jenis produk yang diciptakan oleh para pengecer untuk penggunaan pribadi atau eksklusif.

Private Label : Suatu deskripsi yang digunakan untuk menunjukkan jenis-jenis produk yang disediakan oleh para penyalur kepada industri pengecer yang menyandang nama merek toko pengecer masing-masing atau nama lain yang diciptakan.

® (Registered Trademark) : Simbol yang digunakan bersama merek dagang yang terdaftar di U.S Patent dan Trademark Office. Juga mungkin digunakan dengan tanda merek terdaftar.

SM (Service Mark) : Sama dengan merek dagang (didaftar oleh U.S Patent dan Trademark Office), kecuali bahwa service mark menyangkut jasa-jasa dan event-event, sedangkan merek dagang menyangkut produk-produk.

™ (Trademark) : Simbol yang mengidentifikasi merek-merek dagang yang belum mendapatkan pendaftaran oleh U.S Patent dan Trademark Office.

Wednesday, October 7, 2009

Emotional Branding (Pembentukan Merek dengan Nuansa Emosional)

Emotional Branding merupakan elemen penentu yang sangat penting yang membedakan merek yang sukses dengan merek biasa di pasar. Emotional Branding memberikan lapisan kredibilitas dan kepribadian yang baru pada sebuah merek, dengan menghubungkan merek dengan orang-orang pada tataran pribadi dan holistic.

Emotional Branding didasarkan pada rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan sebuah audiens. Pendekatan ini meningkatkan pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi pembelian yang muncul dari alam hasrat. Strategi merek yang yang terintegrasi merupakan jantung dari emotional branding.

Tujuan emotional branding adalah melahirkan desain merek yang dapat membuat jantung pelanggan berdetak lebih cepat – menciptakan desain yang didasarkan pada pengalaman sensorial dan pemahaman atas keinginan emosional yang paling dalam. Emotional branding didasarkan pada kepercayaan unik yang dibangun bersama audensi. Emotional branding meningkatkan penjualan atas dasar kebutuhan untuk memenuhi keinginan pelanggan. Emotional branding terkait dengan membangun hubungan dengan pelanggan yaitu memberikan nilai jangka panjang pada merek dan produk, terkait dengan pengalaman inderawi, desain yang membuat consumer merasakan produk, desain yang membuat consumer membeli produk.

Emotional branding bukan sekedar proses atau teknik riset, melainkan didasarkan pada hubungan antara manusia yang lebih dari sekedar data dan grafik. Ini adalah budaya dan cara hidup; keyakinan fundamental bahwa manusia adalah kekuatan sesungguhnya dalam perdagangan.



Sumber: Marc Gobe, Emotional branding: paradigma unut menghubungkan merek dengan pelanggan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2005

Marketing Comunication: Taktik & Strategi

Judul di atas merupakan judul buku karangan John E. Kennedy dan R. Dermawan Soemanagara, diterbitkan oleh PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta tahun 2006. Tebal buku ini 216 + xviii halaman.

Dalam bab pendahuluan, pengarang menjelaskan mengenai perjalanan kehidupan manusia dan cara pandang mengenai kehidupannya. Dimulai dari fase revolusi, dimana dalam fase ini manusia sudah mulai berpikir dan membentuk suatu paradigma dalam memecahkan masalah di kehidupannya. Selanjutnya diikuti fase perkembangan, dalam fase ini paradigma yang terbentuk dalam fase sebelumnya sudah mulai dikembangkan sehingga terbentuk pemikiran dan alat-alat bantu untuk menyelesaikan masalahnya. Salah satunya adalah pemasaran (marketing) yang merupakan studi tentang pemenuhan kebutuhan barang dan jasa.

Sejarah pemasaran dimulai dari perkembangan pemikiran ekonomi sebelum depresi dunia tahun 1939 (depresi yang dikenal dengan Malaise, dan melahirkan pemikiran Keynesian). Konsep yang pertama adalah konsep produksi (the production concept). Konsep tersebut menerangkan bahwa konsumen akan menyukai produk yang tersedia dalam jumlah yang banyak dan murah. Tiga strategi dalam pemikiran ini, yaitu: efisiensi produksi tinggi (high production efficiency), biaya murah (low cost), dan distribusi masal atas produk (mass distribution). Asumsi dasarnya bahwa masyarakat hanya senang pada produk yang murah dan dalam jumlah yang banyak. Ide ini sama dengan pemikiran “supply creates its own demand” dari Say, sarjana ekonomi klasik. Konsep ini merupakan pemicu peristiwa Malaise yang membuktikan bahwa penawaran produk dengan asumsi tersebut dapat menghasilkan kesenjangan antara kelebihan produksi (excessive production) dan jumlah barang di pasar dengan kemampuan/daya serap pasar atas produk.

Setelah konsep tersebut tidak berhasil maka dilanjutkan dengan konsep produk (the product concept), asumsinya adalah bahwa konsumsen akan menyukai produk dengan kualitas tinggi (the highest quality), kinerja terunggul (the most qualified performance) atau menawarkan fitur-fitur yang inovatif (inovatif features). Konsep ini memfokuskan pembuatan produk yang superior dan terus menerus memperbaiki kualitas (improving quality).Sama seperti konsep produksi, konsep ini dibangun dari sudut pandang produsen, sehingga menyebabkan masuk pada konsep “rabun pemasaran” (marketing myopia).

Konsep selanjutnya adalah konsep penjualan (selling concept), konsep ini menjelaskan bahwa konsumen tidak akan membeli produk jika tidak ada stimulus-respon, oleh karena itu pelaku bsisni harus melaksanakan penjualan dan promosi yang agresif. Asumsi dari konsep ini melandasi tindakan perusahaan menjual apa yang diproduksinya, dan bukan menjual apa yang diinginkan konsumen. Konsep ini terjadi apabila perusahaan mengalami kondisi kelebihan kapasitas produksi (over capacity). Kelemahan konsep ini adalah konsumen cenderung dipaksa untuk membeli produk yang dibuat perusahaan meskipun konsumen tidak menyukainya.

Kekuarangan konsep tersebut kemudian dilanjutkan dengan konsep pemasaran (marketing concept), konsep ini bertujuan agar perusahaan dapat bekerja dengan lebih efektif daripada competitor, menemukan kebutuhan dan keinginan konsumen, serta menyampaikan, menciptakan dan mengkomunikasikan sejumlah nilai (values) kepada konsumen. Asumsi konsep ini adalah produk diciptakan dari penemuan sejumlah keinginan dan kebutuhan konsumen (latents needs and wants). Konsep ini berbanding terbalik dengan konsep penjualan. Dalam konsep ini pasar tidak dinilai sama dan berdimensi luas atau homogen, namun pasar dikategorikan dalam wujud segmentasi dan pengelompokan pasar (market segmentation and clustering). Konsumen dianggap memiliki diversity atau keunikan masing-masing. Dari asumsi tersebut dibangun pilar-pilar utama pemaran, yaitu target market, consumer needs and wants, integrated marketing dan profitability. Konsep ini berawal dari jargon “know your target market and satisfy them better than competitors”.

Seakan masih belum puas dengan konsep pemasaran, dikembangkan lagi konsep pemasar baru, konsep ini merupakan konsep yang tidak merusak lingkungan dalam proses penciptaan produk. Konsep ini disebut juga konsep pemasaran berwawasan lingkungan, atau bisa disebut juga “the humanistic marketing concept”, “the ecological marketing concept”, dan “the societal marketing concept”. Konsep ini menegaskan pentingnya menyeimbangkan pendekatan bisnis dan pendekatan social pemasaran. Perusahaan yang berhasil adalah perusahaan yang melakukan kebijakan pemasaran dengan mempertimbangkan aspek tatanan social budaya, nilai, etika yang terdapat dalam masyarakat. Konsumen diletakan dalam posisi subjek, mmitra rekanan bisnis dan bahkan pemilik bisnis.

Kelima konsep tersebut merupakan strategi dan taktik dari perusahaan. Apapun konsep, strategi dan taktik tersebut, komunikasi merupakan kata kunci utama. Pemasaran merupakan transformasi wujud komunikasi antarmanusia melalui penggunaan media dan komunikasi merupakan induk dari pemasaran. Jadi hakekat pemasaran adalah komunikasi, tanpa adanya komunikasi yang efektif maka kegiatan bisnis tidak adakan lancar.

Buku tentang marketing communication ini bertujuan membahas secara ringkas namun padat mengenai strategi dan taktik komunikasi kepada target market, yaitu konsumen. Buku ini ditulis pengarang berdasarkan pengalaman pengarang sendiri yang mempunyai latar belakang bidang komunikasi dan manajemen.

Top Brand


Merek merupakan interface antara konsumen dan perusahaan, yang menjelaskan mengenai tawaran produk dan jasa dari perusahaan terkait.

Setiap merek baru perlu menciptakan brand meaning terlebih dahulu agar awareness yang dibangunnya semakin melekat dengan cepat dan berdaya tahan. Ekuitas merek dapat dibangun dengan mengasosiasikan ciri khas dari yang dimiliki merek tersebut, karena apabila merek kuat maka penjualan pun lebih mudah dilakukan.

Tiga komponen penentu Top Brand, yaitu:

1. Mind share,
komponen mind share terbentuk oleh adanya top of mind (TOM) atau merujuk kepada merek yang pertama kali muncul di benak konsumen ketika berbicara kategori tertentu. Merek yang top adalah merek yang terkenal dan mudah diingat. Memiliki TOM yang tinggi sangat penting dan seringkali kekuatan TOM begitu kuatnya sehingga sulit digeser oleh pesaingnya. Mind share mengindikasikan kekuatan merek di dalam benak konsumen kategori produk yang bersangkutan.

2. Market share,
market share ini berarti menunjukkan merek yang paling sering dibeli orang atau menunjukkan kekuatan merek di pasar tertentu dalam hal perilaku konsumen aktual dari konsumen. Ukuran ini dapat dilihat dari merek-merek yang terakhir digunakan oleh masyarakat (Last Usage). Urutan TOM biasanya menunjukkan urutan market share, tapi bukan berarti TOM yang tinggi bisa mendongkrak market share. Berbeda dengan TOM yang relatif stabil, market share bisa mengalami gejolak.

3. Comitment share,
comitment share merupakan cerminan keinginan konsumen untuk mengkonsumsi di masa depan (Future Intention). Merek yang top tentu saja tidak adak bertahan lama jika konsumen tidak bertahan lama jika konsumen tidak berkeinginan membeli pada masa mendatang. Comitment share yang tinggi adalah cerminan bahwa merek tersebut memiliki daya tahan jangka panjang.
Menentukan Top Brand Index diperoleh berdasarkan rata-rata ketiga atribut tersebut setelah sebelumnya diberi bobot terlebih dahulu. Untuk TOM diberi bobot 40%, untuk market share dan mind share masing-masing diberi bobot 30%. Logika Top Brand adalah merek yang top adalah merek yang terkenal, dibeli oleh banyak orang, dan mampu menciptakan komitmen konsumen untuk membeli lagi di masa mendatang.


Sumber: Majalah MARKETING, edisi khusus I / 2007

Tuesday, October 6, 2009

Marketing Image di Otomotif

Dunia marketing memang unik, apalagi kemampuan penjualan sangat terkait dengan pencitraan merek. Hal ini sangat terasa dalam persaingan industri otomotif, dimana jutaan dolar AS bahkan dipertaruhkan untuk membangun reputasi. Bagaimana konteksnya untuk kondisi persaingan otomotif nasional ? Beberapa isu penting yang menjadi “tema” bagi penjualan pabrikan mobil. Mulai dari keikutsertaan kepedulian pada korban bencana alam, pengenalan kelengkapan safety canggih, kampanye safety driving hingga pengembangan pemanfaatan biofuel. Kendati demikian seringkali kampanye mereka menjadi tersiakan karena ketidakefektifan antara keunggulan produk dan aksi kampanye.

Misalnya Ford, yang awalnya bangkit kembali di pasar Indonesia melalui produk pick up double cabin yang lebih besar daripada lainnya. Akhirnya hanya mampu menjadi merek reborn di pasar Indonesia setelah lama terkubur sebagai merek mobil “sedan taksi”. Hal yang sama terjadi pada Hyundai di Indonesia. Di satu sisi, Hyundai secara global – khususnya di Amerika – mengkampanyekan bahwa produk mereka setara dengan produsen Jepang. Berbagai penghargaan disabet, bahkan menjadi sponspr olimpiade. Namun di Indonesia, Hyundai belum mampu untuk menampilkan citra ekslusif tersebut. Padahal industri otomotif sangat peka dengan image yang terbentuk di mata pelanggan. Di saat Hyundai ingin memasarkan image seperti itu, tidak tampak petinggi Hyundai Indonesia untuk masuk ke kalangan eksekutif. Berbeda dengan Camry yang mampu menjadi kendaraan bagi para pejabat serta petinggi negara lain. Jadi disini tampak kehambaran strategi dari Hyundai dan nampak image bahwa Hyundai hanya sebagai image mobil kecil murah sebatas Hyundai Atoz. Konsistensi tanpa strategi fokus merupakan hal yang sia-sia.

Konsistensi yang nyata diperlihatkan oleh Mitsubishi, tampil dengan keunggulan mesin canggih dan tahan banting. Dengan image seperti ini, konsumen dibuat yakin dan nyaman dengan aneka produk Mitsubishi. Kemudian Honda, tetap stabil dengan mempertahankan image nilai jual second yang sangat bagus. Selain itu keiritan BBM menjadi trademark tersendiri bagi produknya. Sedangkan Toyota sebagai market leader tetap unggul image-nya. Image sebagai kendaraan keluarga dan layanan terbaik bagi konsumen. Sejak kecil Toyota menanamkan kepada anggota keluarga, terutama anak-anak di beberapa lomba lukis anak dengan Kijangnya. Ini berarti Toyota secara long investment sudah mempersiapkan kepada anak-anak ketika nantinya mereka beranjak dewasa, bahwa merek yang mereka ingat adalah Kijang.

Memang butuh konsistensi untuk menjadi pemain otomotif yang melekat di benak konsumen, namun selain itu fokus pada pengembangan strategi pemasaran sangat diperlukan juga. Sehingga merek tidak hanya hadir dan exist saja tetapi tidak ada roh untuk berkembang. Contoh lain terlihat dari kasus sedan jenis 2000 cc ke atas yang dikembangkan Toyota. Setelah lama mengandalkan Corona yang tidak pernah unggul di kelasnya, khususnya terhadap Honda Accord, maka diluncurkan Camry. Salah satu strateginya dengan menjadikan Camry sebagai kendaraan resmi para menteri dan pejabat, sehingga terlihat prestige yang dicapai. Tiba-tiba Camry menjadi lambang status kemakmuran yang memiliki intelektual, secara pasti kemudian kelas ini dirajai Honda yang menggeser Honda.

Jadi konsitensi belumlah cukup, haruslah juga diperhatikan kefokusan kampanye pengembangan pasar dari produk yang diluncurkan. Saat ini upaya sedan Vios yang dikembangkan sebagai armada taksi memiliki gema sebagai kendaraan yang bandel dan irit BBM. Apalagi tipe Kijang sering dikeluhkan termasuk BBM, suatu image switching yang bagus.

Konsistensi sangat diperlukan karena hasil pencitraan tidaklah bisa dilahirkan seketika. Namun bertahan konsisten tanpa strategi pengembangan yang fokus juga akan menghasilkan kesia-siaan berupa penghamburan waktu dan biaya. Strategi pengembangan ini sangatlah penting terkait dengan ”image yang akan dijual”. Image mewah, irit BBM, daya muat yang besar, sampai tingginya harga jual kembali masih menjadi hal utama dalam benak konsumen. Isu rendahnya emisi dan safety masih merupakan hal yang sekunder bahkan tersier, bagi konsumen nasional. Ini menjawab mengapa isu Volvo tidak bisa berkembang. Jadi tidak sekedar konsisten, tetapi harus fokus pada image menjual.


Sumber: Majalah MARKETING 03/VII/Maret 2007

Self Educate Community

“Beberapa merk sudah memanfaatkan buzzword untuk membangun efek word of mouth saat produk tersebut diluncurkan, tapi tidak sedikit yang melepas bebaskan buzzword yang mereka buat” (Majalah MARKETING, No. 02/VII/Februari/2007)

Komunitas yang ada di konsumen memang bersifat dinamis, terus bergerak dan tidak mudah untuk ditebak. Untuk itu diperlukan ketahanan untuk terlibat secara tulus dengan komunitas target market, selain buzzing audit. Ironisnya, komunitas sangat sensitif terhadap intensitas. Dengan kata lain semakin intens pemilik brand berhubungan dengan komunitas maka semakin tinggi tingkat ketergantungannya, begitu pula jika diturunkan intensitasnya maka akan turun pula komitmen konsumen terhadap brand.

Karena itu, dalam melakukan edukasi pasar, pemilik brand harus mampu membangun komunitas yang mengedukasi komunitas itu sendiri. Jadi begitu dilempar satu edukasi, sistem sel dalam jaringan langsung bergerak dan saling mengedukasi satu sama lain.

Hal ini yang sempat dilupakan oleh beberapa brand saat membangun brand community. Banyak brand yang bersemangat membangun komunitas, dengan harapan komunitas tersebut bisa menyerap setiap produk dan mempertahankan loyalitas yang ada di pasar.

Seringkali juga, semangat untuk membangun komunitas juga sangat besar sehingga pemilik brand akan selalu membidik komunitas yang besar. Padahal sebenarnya bukankah setiap produk memiliki komunitas itu sendiri ? Alangkah indahnya kalau kita mulai dari yang kecil. Saat launching produk baru, misalnya, bikin jaringan-jaringan kecil yang sudah eksis menjadi punya ”sense of beloging”. Jadi tidak sekedar bikin event besar dan semua orang tahu. Nanti pada periode tertentu, kita gabungkan jaringan-jaringan kecil itu dengan program experential melalui keterkaitan emosional.

Tidak mudah untuk membangun komunitas, dibutuhkan endurance yang tinggi untuk membangun komunitas yang mampu mengedukasi diri sendiri. Tapi ini memang harus dicoba. Setidaknya, agar informasi produk tidak dimanfaatkan oleh kompetitor untuk menghantam diri sendiri.