Dunia marketing memang unik, apalagi kemampuan penjualan sangat terkait dengan pencitraan merek. Hal ini sangat terasa dalam persaingan industri otomotif, dimana jutaan dolar AS bahkan dipertaruhkan untuk membangun reputasi. Bagaimana konteksnya untuk kondisi persaingan otomotif nasional ? Beberapa isu penting yang menjadi “tema” bagi penjualan pabrikan mobil. Mulai dari keikutsertaan kepedulian pada korban bencana alam, pengenalan kelengkapan safety canggih, kampanye safety driving hingga pengembangan pemanfaatan biofuel. Kendati demikian seringkali kampanye mereka menjadi tersiakan karena ketidakefektifan antara keunggulan produk dan aksi kampanye.
Misalnya Ford, yang awalnya bangkit kembali di pasar Indonesia melalui produk pick up double cabin yang lebih besar daripada lainnya. Akhirnya hanya mampu menjadi merek reborn di pasar Indonesia setelah lama terkubur sebagai merek mobil “sedan taksi”. Hal yang sama terjadi pada Hyundai di Indonesia. Di satu sisi, Hyundai secara global – khususnya di Amerika – mengkampanyekan bahwa produk mereka setara dengan produsen Jepang. Berbagai penghargaan disabet, bahkan menjadi sponspr olimpiade. Namun di Indonesia, Hyundai belum mampu untuk menampilkan citra ekslusif tersebut. Padahal industri otomotif sangat peka dengan image yang terbentuk di mata pelanggan. Di saat Hyundai ingin memasarkan image seperti itu, tidak tampak petinggi Hyundai Indonesia untuk masuk ke kalangan eksekutif. Berbeda dengan Camry yang mampu menjadi kendaraan bagi para pejabat serta petinggi negara lain. Jadi disini tampak kehambaran strategi dari Hyundai dan nampak image bahwa Hyundai hanya sebagai image mobil kecil murah sebatas Hyundai Atoz. Konsistensi tanpa strategi fokus merupakan hal yang sia-sia.
Konsistensi yang nyata diperlihatkan oleh Mitsubishi, tampil dengan keunggulan mesin canggih dan tahan banting. Dengan image seperti ini, konsumen dibuat yakin dan nyaman dengan aneka produk Mitsubishi. Kemudian Honda, tetap stabil dengan mempertahankan image nilai jual second yang sangat bagus. Selain itu keiritan BBM menjadi trademark tersendiri bagi produknya. Sedangkan Toyota sebagai market leader tetap unggul image-nya. Image sebagai kendaraan keluarga dan layanan terbaik bagi konsumen. Sejak kecil Toyota menanamkan kepada anggota keluarga, terutama anak-anak di beberapa lomba lukis anak dengan Kijangnya. Ini berarti Toyota secara long investment sudah mempersiapkan kepada anak-anak ketika nantinya mereka beranjak dewasa, bahwa merek yang mereka ingat adalah Kijang.
Memang butuh konsistensi untuk menjadi pemain otomotif yang melekat di benak konsumen, namun selain itu fokus pada pengembangan strategi pemasaran sangat diperlukan juga. Sehingga merek tidak hanya hadir dan exist saja tetapi tidak ada roh untuk berkembang. Contoh lain terlihat dari kasus sedan jenis 2000 cc ke atas yang dikembangkan Toyota. Setelah lama mengandalkan Corona yang tidak pernah unggul di kelasnya, khususnya terhadap Honda Accord, maka diluncurkan Camry. Salah satu strateginya dengan menjadikan Camry sebagai kendaraan resmi para menteri dan pejabat, sehingga terlihat prestige yang dicapai. Tiba-tiba Camry menjadi lambang status kemakmuran yang memiliki intelektual, secara pasti kemudian kelas ini dirajai Honda yang menggeser Honda.
Jadi konsitensi belumlah cukup, haruslah juga diperhatikan kefokusan kampanye pengembangan pasar dari produk yang diluncurkan. Saat ini upaya sedan Vios yang dikembangkan sebagai armada taksi memiliki gema sebagai kendaraan yang bandel dan irit BBM. Apalagi tipe Kijang sering dikeluhkan termasuk BBM, suatu image switching yang bagus.
Konsistensi sangat diperlukan karena hasil pencitraan tidaklah bisa dilahirkan seketika. Namun bertahan konsisten tanpa strategi pengembangan yang fokus juga akan menghasilkan kesia-siaan berupa penghamburan waktu dan biaya. Strategi pengembangan ini sangatlah penting terkait dengan ”image yang akan dijual”. Image mewah, irit BBM, daya muat yang besar, sampai tingginya harga jual kembali masih menjadi hal utama dalam benak konsumen. Isu rendahnya emisi dan safety masih merupakan hal yang sekunder bahkan tersier, bagi konsumen nasional. Ini menjawab mengapa isu Volvo tidak bisa berkembang. Jadi tidak sekedar konsisten, tetapi harus fokus pada image menjual.
Sumber: Majalah MARKETING 03/VII/Maret 2007
Seminar Nasional Statistik STIS, 3 Oktober 2011
13 years ago
No comments:
Post a Comment