Monday, August 24, 2009

Pilih Susah atau Mudah ?

Artikel ini ada hubungannya dengan artikel sebelumnya yang berjudul "Konsumen Indonesia Enggan Membaca".

Orang Indonesia pada umumnya memiliki minat baca rendah yang mengerucut pada minimnya daya kritis, membuat marketer memiliki dua pilihan.

Pertama, memilih cara yang mudah dengan menampilkan image produk sebagus mungkin tanpa melakukan edukasi yang memiliki bobot pengetahuan. Baru setelah itu lambat laun memperbaiki produk.

Kedua, memberi kandungan informasi pada memperkaya wacana konsumen dengan tanpa meninggalkan proses membentuk brand equity. Untuk alternative ini apabila produknya sudah memiliki kualitas excellent.

Hal ini dapat terjadi di Indonensia karena terjadi gap antara kualitas aktual dan kualitas persepsi di Indonesia. Konsumen Indonesia umumnya memiliki product knowledge yang rendah. Tidak mengherankan apabila produk yang biasa bisa di ubah image-nya menjadi produk yang bagus, sedangkan produk yang bagus bisa dianggap menjadi produk yang biasa saja, karena tidak didukung komunikasi yang sesuai dengan konteknya.

Dengan melakukan edukasi yang membuka wacana konsumen, akan membuat kepercayaan pada merk ini akan terbentuk dengan permanen. Biasanya hanya merek-merek yang memang berkualitas bagus yang melakukannya. Akhirnya setelah pilihan dijatuhkan, maka semuanya tergantung pada kekuatan komunikasi yang dilakukan suatu merk. Kemudian ditunjang pula oleh value-value yang bersifat emosional yang dibangun untuk menguatkan merek tersebut.


Sumber: Majalah Merketing, Edisi Khusus/II/2007

Tentang Remarketing

Beberapa hal yang termasuk remarketing antara lain resegmentation, retargeting, dan repositioning. Resegmentation berarti mengacu pada pengelompokan ulang pasar. Retargeting berarti memperbaruhi pembidikan pasar sasaran (target market). Reposition berarti membentuk citra (image) baru yang jelas, berbeda, dan unggul secara relative dibanding pesaing.

Ada lagi yang mengajukan konsep benchmarking. Dalam konsep ini, perusahaan dianjurkan untuk menjadikan praktek-praktek bisnis maju perusahaan lain sebagai patokan untuk disamai ataupun dilampaui.

Nilai pelanggan
Tiga cara untuk meningkatkan nilai pelanggan, antara lain:
1. Meningkatkan manfaat total, bisa dilakukan melalui diferensiasi dan positioning.
2. Menurunkan biaya, bisa dilakukan dengan menurunkan satu, beberapa, atau semua komponen biaya.
3. Cara pertama dan kedua dilakukan sekaligus.

Keunggulan Bersaing (competitive advantage)
Keunggulan bersaing harus dimiliki perusahaan agar dapat bersaing atau dengan kata lain perusahaan memiliki kompetensi inti. Namun kompetensi tersebut harus menyangkut aspek-aspek yang menjadi kunci keberhasilan dalam industri. Keunggulan bersaing adalah performa produk yang lebih tinggi dibanding pesaing pada atribut-atribut penting bagi konsumen. Oleh karena itu keunggulan bersaing harus berdasarkan atribut (atribut based analysis).

Ekuitas merk
Nilai suatu produk ada dua, antara lain:
1. Nilai objektif, nilai ini diperoleh dari manfaat fungsional produk.
2. Nilai total, nilai ini mengandung nilai objektif ditambah nilai yang disumbangkan merk. Sumbangan merk terhadap nilai total produk adalah ekuitas merk.

Ekuitas merk ditopang oleh lima komponen, yaitu kesadaran merk (brand awarness), asosiasi merk (brand association), persepsi kualitas (perceived quality), loyalitas merk (brand loyality).

Aaker (1991,1996)
mengajukan empat tingkat kesadaran merk, yaitu top of mind, brand recall, brand recognition, dan brand unaware. Bilson Simamora membagi tingkatannya menjadi top of mind, familiar brand, brand recognition, dan brand unaware. Brand recall mencakup top of mind dan familiar brand.

Brand association dapat diukur secara langsung maupun tidak langsung. Cochran Q Test dapat digunakan unutk mengetahui dengan apa suatu produk dapat diasosiasikan.

Aaker pada tahun 1996 mengajukan indikator tambahan untuk mengukur persepsi kualitas, yaitu popularitas, serta kepemimpinan merk dan inovasi. Penjelasan praktis tetang cara mengukurnya belum ada. Dalam Aaker (1996), mengajukan indikator untuk mengukur loyalitas, yaitu premi harga dan kepuasan konsumen. Loyalitas merk memang penting, karena apabila pelanggan loyal maka sebuah perusahaan akan lebih tahan terhadap serangan pesaing. Selain itu biaya pemasaran juga berkurang, karena pelanggan yang loyal tidak perlu promosi intensif. Promosi cukup digunakan untuk memlihara hubungan baik saja.

Kepuasan konsumen
Kepuasan konsumen sangat penting karena keberhasilan sebuah perusahaan tergantung seberapa mampu perusahaan tersebut memenuhinya dengan cara yang lebih efektif dan efisien dibanding pesaing. Berdasarkan konsep tersebut berlaku sebuah aturan: ”Pemenang persaingan adalah yang memberikan kepuasan tertinggi”.

Power pricing
Dalam mengevaluasi harga, power pricing merupakan konsep untuk proses penetapan harga.


Sumber: Simamora, Bilson; Remarketing For Business Recovery, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001

Konsumen Indonesia Enggan Membaca

Keengganan membaca juga menyebabkan konsumen kurang memperhatikan informasi yang terdapat pada suatu produk. Lihat saja, di pasar farmasi. Begitu banyak obat yang memiliki kandungan sama untuk fungsi yang sama. Karena memang, kebanyakan obat tanpa resep yang beredar di masyarakat berisi kandungan yang sifatnya generic.

Namun dengan komunikasi yang berbeda, akhirnya persepsi yang tercipta lain pula selain itu juga mampu memunculkan loyalitas akibat kuatnya suatu merk tertancap di benak konsumen. Sekitar 99% konsumen tidak mengerti kandungan obat bebas. Misalnya obat sakit kepala berisi parasetamol atau asetaminofen. Apalagi berapa persen jumlah maksimal kandungan itu hanya boleh ada pada satu tablet.

Kepercayaan konsumen pada suatu merek bahkan sudah pada titik yang menimbulkan efek placebo. Misalnya, dia percaya pada suatu merk obat sakit kepala. Ketika sakit, bisa dipastikan hanya merek ini yang menyembuhkannya. Termasuk, ketika hanya diberikan pil vitamin yang serupa dan dikatakan sebagai merek tersebut.

Iklan obat di Indonesia begitu membius orang. Di sisi lain, belum ada periklanan yang mengatur mengenai ini. Sehingga tidak ada satu kewajiban yang menyatakan bahwa tiap produsen harus menginformasikan kandungan obatnya. Bila ini dilakukan, lambat laun konsumen akan tahu komposisi suatu obat dan akan selektif dalam memilih obat.


Sumber: Majalah Merketing, Edisi Khusus/II/2007

Sunday, August 23, 2009

Mendapatkan Segitiga Sukses

Rahasia sukses ternyata bukanlah hal yang sulit untuk dikerjakan, intinya adalah melakukan hal-hal dasar dengan benar. Sebenarnya, melakukan hal-hal dasar dengan benar adalah sesuatu yang paling sulit dilakukan. Menguasai beberapa “trik” itu mudah, tetapi untuk dapat menguasai hal-hal dasar jauh lebih sulit. Apabila sudah menguasai hal-hal dasar, anda akan lebih kompeten dalam banyak hal seumur hidup anda. Jadi, ini benar-benar layak untuk diperjuangkan karena imbalannya berlaku seumur hidup dan jangka panjang.

Jerry Clark (seorang pelatih performance) menjelaskan bahwa kesuksesan dalam bentuk “segitiga sukses”. Ketiga hal tersebut adalah menguasai komunikasi eksternal, komunikasi internal, dan pengetahuan teknis. Menguasai sesuatu berarti anda sudah memilikinya di dalam diri dan dapat menggunakannya kapanpun diperlukan, ini berarti anda punya “kendali”. Untuk dapat menguasai, mengendalikan dan menggunakan kapanpun kita inginkan biasanya membutuhkan empat hal berikut:

1. Waktu, dalam banyak hal, anda tidak dapat menguasai sesuatu dalam sekejap. Membutuhkan jangka waktu tertentu, mungkin 1 bulan, 1 tahun, 5 tahun atau bahkan seumur hidup. Semuanya tergantung dari hal-hal yang ingin kita kuasai dan seberapa baik menguasainya.

2. Energi, untuk menguasai sesuatu diperlukan energi dan tenaga. Tidak ada yang berharga yang dapat diraih secara instan. Perlu diingat bahwa energi disini bukan hanya usaha tetapi termasuk didalamnya adalah uang. Seringkali untuk mendapatkan kesuksesan kita hrus mengeluarkan uang terlebih dahulu, baik untuk membeli buku tau hal –hal lain yang menunjang keberhasilan.

3. Frustasi, perjalanan untuk mendapatkan sesuatu seringkali penuh dengan frustasi. Tidak ada hal hebat yang datang dengan mudah, oleh karena itu mengapa jarang ada orang yang bisa mencapai sukses. Banyak orang yang tidak siap melewati proses frustasi (dan ”penderitaan”).

4. Berubah, inilah yang penting dari semuanya. Banyak yang ingin sukses tetapi tidak siap dalam hal berubah. Antara lain berubah dalam hal berikut ini:
a. Berubah dalam cara mereka berpikir tentang mereka.
b. Berubah dalam cara mereka berpikir tentang sukses.
c. Berubah dalam cara mereka bekerja, taktik,”gaya”, dan lain-lain.
d. Berubah dalam cara kebiasaan dan rutinitas.
e. Berubah dalam cara berpakaian, berbicara, dan lain-lain

Banyak orang yang ingin menikmati hasil yang lebih baik tetapi tidak siap untuk berubah.


Sumber: James Gwee T. H. MBA, dengan modifikasi oleh Krisna Rahmantya

Tiga Hal dalam Intangible Product

Untuk produk yang bersifat intangible, tiga faktor untuk diterima costumer:
1. Costumer focus, yaitu mengenali betul bagaimana mengenali pelanggan.
2. Delivery, yaitu kemampuan memberikan produk dan service dengan baik melalui konsep “customer focus behaviour”.
3. Effective process, yaitu pelayanan yang cepat, tidak berbelit-belit dan perangkatnya terus diinovasi.

Ketiga hal tersebut harus diperhatikan agar pada akhirnya dapat ditumbuhkan unsur trust (kepercayaan) pada costumer secara terus menerus. Apabila terdapat klaim maka harus dideliver dan harus selalu menciptakan moment of truth, selain itu klaim harus dapat diselesaikan (total solution service).

Layanan yang diberikan harus mampu melampaui ekpetasi pelanggan dan harus bias membuat costumer secure. Tuntutan terhadap kualitas service makin lama makin tinggi, oleh karena itu semua pihak harus bisa menyesuaikan diri. Salah satu cara untuk mengatasi tuntutan tersebut adalah inovasi teknologi.

Semua layanan yang diberikan pada costumer tujuan akhirnya adalah costumer satisfaction, namun hal itu tidak ada gunanya tanpa adanya costumer loyalty. Oleh karena itu costumer diharapkan setelah merasa satisfaction selanjutnya menjadi loyalty dan menjadi advocator bagi orang lain.

Service bukan sekedar bagaimana bersikap nice kepada pelanggan, tetapi merupakan “total service experience” , dan ini berkaitan dengan product, quality, value hingga promotion. Cara marketing dalam memenuhi suatu kebutuhan adalah dengan menawarkan sesuatu yang mempunyai nilai tertentu untuk ditukarkan dengan apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh pihak lain.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun kualitas pelanggan antara lain adalah kualitas, pelayanan, dan value. Hal ini disesuaikan dengan masing-masing produk, sehingga tiap-tiap produsen mempunyai atribut yang berbeda-beda yang dapat menjadi factor pembeda untuk menjadikan mereka unggul dari competitor.

“You can copy the product but you can not copy service culture”

Sumber: Majalah MARKETING, 02/VII/Februari 2007

Metodoloy Survey ISSIndex 2007

Survey Indonesian Statistician Index 2007 dilakukan di dua kota besar, Jakarta dan Surabaya dengan jumlah responden 1600 orang – terdiri dari 900 responden random ditambah 700 responden booster. Booster diperlukan untuk menambah kebutuhan minimal sample size untuk analisis statistic.

Metode pengambilan sample random dilakukan dengan multistage random sampling, sedangkan untuk sample booster dilakukan dengan quota sampling. Survey dilakukan dengan wawancara tatap muka secara personal pada bulan November – Desember 2006.

Kriteria responden adalah berusia 20-60 tahun. Tingkat pengeluaran keluarga mulai dari C (> Rp. 1.000.000) hingga A++(>10.000.000) dan pernah menggunakan layanan purna jual dan atau service points (walk in centers/WIC) dalam 3 bulan terakhir.

Tingkat kepuasan terhadap layanan service afters sales service dan service points /WIC diukur dengan melakukan penilaian didasarkan atas 2 dimensi besar: Perceived Service Quality (PSQ) dan Perceived Service Value (PSV). PSV adalah persepsi kesetaraan antara harga yang dibayarkan dengan pelayanan yang diperoleh. Sedangkan PSQ memiliki 4-5 parameter yang dinilai oleh masing-masing responden.

Empat parameter tersebut adalah kepuasan terhadap pengaksesan service points /WIC (Accessibility); kepuasan terhadap unsur-unsur yang terkait dengan proses pelayanan (Service Process); kepuasan terhadap staff atau frontliner yang berinteraksi dengam pelanggan (People); dan kepuasan terhadap proses penanganan keluhan (Service Complaint Handling).

Khusus untuk After Sales Service, parameter kepuasan terhadap hasil atau penyelasaian akhir dari pelayanan yang dilakukan (Quality of Repair Result) ditambahkan sebagai parameter kelima.

Skor Accessibility, Servied Process, People dan Service Complaint Handling, Quality of Repair dan Perceived Service Value masing-masing service points/WIC diukur dengan menggunakan skala Likert 1-5, dimana angka 1=sangat tidak puas, 2=tidak puas, 3= biasa saja, 4=puas dan 5=sangat puas.

ISS index setiap merk pelayanan diperoleh dengan menggunakan metode “weigted means” (rata-rata terboboti) dari PSQ dan PSV. Besar bobot untuk setiap parameter diperoleh dengan menggunakan analisis Structural Equation Modelling (SEM).


Skema Perhitungan Skor ISS Index:

Skema Perhitungan PSQ untuk kategori after sales service:
PSQ=W1*Accessibility + W2* Service Process + W3*People + W4*Service Complaint Handling + W5*Quality Of Repair Result

Skema Perhitungan PSQ untuk kategori layanan service points/walk in centers:
PSQ = W1*Accessibility + W2* Service Process + W3*People + W4*Service Complaint Handling


Sumber : Majalah MARKETING No. 02/VII/Februari/2007

ISSI (Indonesia Service Satisfaction Index)

Survey ISSI (Indonesian Service Satisafaction Index) merupakan barometer pengikuran kualitas layanan yang bertujuan sebagai “benchmarking” bagi marketer-disamping guna mempromosikan lingkungan bisnis yang kondusif. Secara total penilaian dilakukan untuk 18 kategori jasa yang paling popular, termasuk pelayanan After Sales Services dan Walk In Centers (tempat pelayanan).

ISSI adalah customer perception survey, bukan customer experience research. Perusahaan customer driven tidak menganggap pelanggan sebagai konsumen dan tidak memperlakukan mereka sebagai angka statistik, tetapi memperlakukannya sebagai sebuah pribadi yang pengalamannya diperhitungkan sebagai kinerja.

Fundamental pembangunan service culture dimulai dari pengukuran. Pengukuran adalah sebuah attitude. Adanya keinginan mengukur sebetulnya sudah merupakan sebuah pencapaian. Costumer Driven yang sesungguhnya adalah:”Perusahaan dengan kualitas layanan teratas dan tidak menyadari bahwa Service Culturenya terjadi secara bottom up, bukan top down atau paksaan berupa intruksi dari atasan”. Dalam perusahaan yang Service Culture-nya sudah bottom up. Semua orang adalah service star dan menjadi role model.

ISSI 2007 merupakan hasil pengukuran Service Satisfaction untuk 18 kategori industri services. ISSI murni mengukur pengalaman responden menggunakan jasa layanan yang diberikan provider. Temuan dalam ISSI yang dapat menjadi acuan tingkat harapan dan karakteristik Service Quality di Indonesia.

Pertama: Skor total ISSI pada rata-rata industri After Sales Service (3.8943) sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan score ISSI total rata-rata Walk In Centers yang mencapai 3.9283. Untuk After Sales Service, bengkel R4 memiliki skor ISSI tertinggi, sedangkan Service Center handset yang terendah. Jika dilihat dari segi segmentasi, maka pelanggan pengguna bengkel R4 lebih homoen dibandingkan dengan penlanggan handset. Ini merupakan tantangan bagi handset untuk meningkatkan layanan.

Untuk Walk In Centers, tingkat pelayanan International Airline mengungguli semua kategosri sedangkan tingkat pelayanan Financing oomotif R2 merupakan yang terendah. Masih rendahnya indeks R2 memberikan peluang bagi pemain di industri ini untuk keluar dari price driven competition.

Kedua: Dari skor rata-rata insudtri, yang tetrtinggi dari semua industri adalah industri International Airline dengan skor ISSI 4.0698, diikuti oleh industri Perbankan Prioritas dengan skor ISSI 4.0066, dan Industri After Sales Service untuk otomotif Roda 4 dengan skor ISSI 4.0012. Tingginya skor ISSI di Industri International Airline dipicu oleh skor ISSI Singapore Airline (4.2625) yang juga merupakan skor tertinggi untuk semua merk layanan yang disurvey.

Ketiga: Dari dimensi pelayanan Akses, People, Proses. Penanganan Keluhan di Walk in Centers, yang tertinggi adalah rata-rata untuk People dengan skor 3.9436. Sedangkan yang terendah adalah penanganan keluhan dengan skor 3.8931.

Keempat: Untuk After Sales, dari ke lima dimensi People Akses, Proses, Penanganan Keluhan dan Kualitas pekerjaan yang direparasi, maka kualitas pekerjaan yang direparasi mencapai skor tertingi. Walaupun pelanggan kurang puas dengan layanan yang diberikan, tetapi rata-rata puas dengan hasil kerja tekhnisi-khususnya dari segi kualitas yang diberikan. Sekali lagi ISSI menunjukkan bahwa masih banyak peluang bagi bengkel untuk meningkatkan customer experience dan budaya layanan sebagai pembeda.

Kelima: Airport merupakan satu-satunya public utility yang mewakili kategori utilitas public lainnya. Bandara adalah “lobby atau receptionist” dari sebuah Negara atau kota. Maka, tingkat keramahan dan kualitas layanan bandara akan mempengaruhi persepsi keramahan suatu negara atau kota.


Sumber : Majalah MARKETING No. 02/VII/Februari/2007

Konsumen Indonesia Makin Sama atau Beda ?

Banyak merek di Indonesia yang penyebarannya tidak merata di tanah air. Padahal, banyak dari merek-merek tersebut melakukan promosi dan iklan secara nasional. Selain iklan, mereka melakukan juga distribusi secara nasional, bahkan kualitasnya pun disamakan secara nasional. Namun hal ini ternyata tidak membuat merek tersebut merata di seluruh tanah air. Hal ini karena konsumen Indonesia relatif heterogen daripada negara-negara lainnya.

Faktor pertama
yang mempengaruhi perbedaan penetrasi terhadap suatu merek antara lain: sikap, perilaku, budaya, norma dan kebiasaan konsumen yang berbeda dari satu daerah dan daerah yang lain. Contohnya orang Jawa lebih suka manis daripada orang Sunda. Untuk produk rokok, orang Jawa berbeda dengan orang Batak.

Faktor kedua adalah yang berhubungan dengan tingkat kompetisi yang berbeda dan pemain yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Contohnya semen, Merek Tiga Roda menguasai di Jakarta, Semen Gresik di Jawa Timur, dan Semen Padang di Sumatera. Perbedaan tersebut bukan karena perbedaan perilaku pelanggan tetapi karena merek-merek tersebut berbeda dalam keuntungan distribusi.

Faktor kedekatan antara tempat produksi dan konsumen, memang memiliki banyak keuntungan. Perusahaan lokal umumnya masih mampu bertahan dari serbuan merek nasional karena mengandalkan distribusi yang intensif di daerahnya masing-masing. Selain itu karena mereka lebih mengerti keinginan konsumen di daerahnya sendiri sehingga dapat menciptakan produk yang diharapkan konsumen tersebut.

Kemudian bagaimana membaca tren konsumen ke depan ? Apabila konsumen Indonesia akan semakin berbeda atau minimal tetap mempertahankan perbedaan, maka melakukan modifikasi produk sesuai dengan keinginan konsumen harus tetap dilakukan. Namun apabila yang terjadi sebaliknya maka marketer haruslah memilih produk yang standar untuk mengejar keuntungan skala ekonomi.

Menurut Handi Irawan konsumen Indonesia akan menuju kepada persamaan. Paling tidak ada 4 faktor yang mendukung hal tersebut:

Pertama: Globalisasi, gelombang globalisasi telah membuat banyak perilaku manusia di muka bumi menjadi semakin sama. Akibatnya, proses kesamaan ini pasti terjadi juga untuk segmen yang sama dalam satu negara.

Kedua: Media, semakin luas jangkauan media semakin membentuk karakter dan diferensiasi konsumen menjadi satu pasar.

Ketiga: Teknologi, semakin maju teknologi, terutama seluler dan internet, semakin membuat konsumen Indonesia mudah berhubungan dan bertukar informasi.

Keempat: Perubahan jalur distribusi, ritel modern yang semakin kuat, telah banyak membantu distribusi merek-merek nasional ke daerah-daerah.


Strategi-strategi yang perlu dilakukan marketer antara lain:

Pertama: Berhenti untuk melakukan strategi lokal.

Kedua: Membuat strategi platform. Mengimprovisasi produk utama sesuai dengan daerah yang dituju, artinya core bussines tetap menjadi dasar atau pondasi untuk melakukan perubahan bagi daerah-daerah tertentu.


Sumber: Majalah MARKETING, 02/VII/Februari 2007

Edukasi Pasar

Mendrive market memang bukan perkara gampang, apabila dilakukan setengah hati, efeknya bisa fatal. Edukasi adalah tantangan terbesar dalam membuka pasar. Menurut pengamat marketing dari IBII Consulting, Darmadi Durianto, dalam men-drive market, tentunya butuh edukasi yang berhasil jika dirasa masuk akal oleh konsumen. Konsumen tidak akan percaya bila apa yang ditawarkan ternyata tidak masuk akal, dan tidak mempunyai apa-apa. Hal lain yang dirasa penting adalah kuantitas dari edukasi tersebut harus cukup. “Sampai di mana efektivitasnya tergantung sulit atau tidaknya edukasi itu, karena ini masalah dana”, ujar Darmadi.

Hal lain yang perlu diperhatikan pemasar terletak pada kualitas edukasi-bagus tidaknya edukasi yang dilakukan. Cara yang ditempuh Lotte Xylitol merupakan langkah inovatif dan cukup berani. Hanya saja, Darmadi menitikberatkan soal strategi campaign-nya. ”itu kurang mengena. Lebih baik menekankan pada aspek kesehatan gigi dan mulut, daripada dimakan sehabis gosok gigi”, ujar Darmadi menambahkan. Lalu apa yang membuat produk ini akan sukses besar di pasar ? Dengan mantap Darmadi menyarankan agar produsen menekankan sisi diferensiasi yang tepat dan mengena.


Sumber: Majalah MARKETING, 03/VII/Maret 2007

Brand Experience & Internal Branding

Taktik penjualan dan gimmick sering lebih dipentingkan daripada penciptaan brand experience yang menyenangkan. Gimmick dan taktik penjualan yang agresif hanya berhasil jika sebuah brand lemah, bukan malah memperlemah sebuah brand. Riset menunjukkan bahwa jika konsumen mendapat pelayanan yang baik, mereka akan cenderung setia pada brand tersebut dan cenderung memandang harga tersebut sebagai faktor terakhir. Maka dari itu merek-merek di AS sekarang berfokus pada pembangunan pengalaman konsumen yang berpusat pada brand.

Brand experience = pangsa pasar dan pendapatan yang lebih tinggi, serta ketergantungan yang lebih rendah pada gimmick dan taktik penjualan yang mahal (yang malah menggerus kepercayaan pada brand). Bagaimana cara membangun brand experience yang hebat, yang akan menciptakan nilai (mengurangi ketergantungan pada harga) dan loyalitas (menghasilkan pembelian ulang) ?

Solusinya sederhana, harus dimulai dari membangun fondasi brand yang kuat dari dalam perusahaan. Jika direksi, manajemen, dan staf sendiri tidak mempercayai brand mereka sendiri, mereka tidak akan bisa menciptakan brand experience yang hebat. Internal branding yang intensif, yang direncanakan dengan baik, adalah satu-satunya jalan.

Internal branding berawal dari pengembangan yang cermat atas brand vision, essence, dan personality. Pembangunan brand vision, essence, dan personality yang kuat melibatkan tim lintas divisi dan disiplin, yang bekerja bersama-sama dalam workshop yang diselenggarakan dengan baik. Branding workshop merupakan tahapan yang penting untuk menciptakan komitmen dan kegairahan untuk menciptakan brand yang kuat. Agar berhasil, pembangunan brand harus “dialami” secara internal dalam organisasi tersebut dan berpuncak pada visi, nilai, dan harapan yang dimiliki bersama-sama.

Strategi branding tidak bisa dilakukan berdasarkan model yang dibaca di buku atau mencontoh sebuah seminar. Strategi tersebut harus dibentuk sesuai dengan visi dan nilai yang terdapat pada pasar lokal. Dapatkan brand experience dihasilkan jika brand tersebut tidak diinternalisasi, yaitu ketika karyawan kurang terlibat, kurang percaya, dan kurang bergairah untuk menciptakannya ?

Sumber: Majalah MARKETING 02/VII/Februari 2007

Empowerment

Kesigapan petugas dalam melayani pelanggan, penguasaan product knowledge, keakuratan pelayanan serta komunikasi merupakan sebagian atribut parameter “people”. Strategi yang banyak dilakukan oleh perusahaan penyedia layanan dalam masalah people ini umumnya tidak lebih dari masalah training dan pemberian benefit. Training bertujuan meningkatkan kemampuan soft skills (komunikasi, interaksi, dan lain-lain) maupun hard skills (menangani pelanggan, menjelaskan produk, dan lain-lain). Sedangkan benefit bertujuan meningkatkan semangat dan loyalitas bekerja.

Di luar itu, strategi yang harus dibangun adalah bagaimana menciptakan “empowerment” bagi para frontliner. Hampir sebagian frontliners tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengambil keputusan di luar hal-hal yang sudah tercantum dalam standard layanan. Keramahan memang penting dalam pelayanan, namun keramahan tidak akan berarti jika frontliners tidak mampu menangani hal-hal khusus atau luar biasa yang berbeda dengan rutinitas biasa.

Tanpa adanya empowerment, pekerjaan menjadi lambat dan membuat ketidakpuasan pelanggan. Karyawan memiliki wewenang dapat dilihat dalam derajatnya.

Pertama: Empowerment bersifat suggestion (memberi saran), frontliners yang memiliki wewenang ini hanya dapat memberikan saran yang terkait “job environment” dimana dia berada, namun dia tidak bisa melakukan tindakan apabila terjadi kasus.

Kedua: Empowerment bersifat “job involvement” dimana frontliners dapat mengevaluasi pekerjaan yang mereka lakukan dan mengambil peran dalam job environment mereka. Pada tingkat–tingkat keputusan yang kecil mereka sudah dapat melakukan hal itu.

Ketiga: Empowerment bersifat “high involvement”, dimana mereka sudah dapat mengatur pekerjaan mereka sendiri. Ciri ini biasanya terdapat pada frontliners yang berhubungan secara jangka panjang dengan pelanggan. Para frontliner yang menangani nasabah-nasabah besar harus memiliki high involvement, oleh karena itu pendidikan , pelatihan yang intensif dan benefit yang tepat harus diberikan kepada fronliner tipe ini.

Empowerment biasanya juga dibutuhkan pada saat terjadinya keluhan. Kemampuan service point dalam menyelesaikan keluhan dan menciptakan service recovery menjadi faktor pendorong pelanggan puas atau tidak. Berdasarkan sebuah penelitian di AS, sebagian besar dari komplain bukan bertujuan mendapatkan kondisi yang benar-benar diinginkan. Sebagian besar komplain ternyata hanya umpatan kekesalan, dan karenanya lebih membutuhkan penanganan yang baik dibandingkan mengembalikan pada keadaan semula.

Namun, sekalipun pelanggan tidak menuntut hasil akhir yang sempurna, pelanggan tetap menuntut apa yang menjadi harapan. Termasuk pula pada penyelesaian akhir dari sebuah service process, pelanggan bisa menjadi tidak puas – meskipun pada saat berada di contact point ia merasa puas. Jadi dalam hal ini ada dua dimensi yang berbeda dalam mengukur kepuasan di service point. Kepuasan pada saat layanan diberikan dan kepuasan sesudah layanan diberikan (after sales service). Karena itu, menjalankan strategi kepuasan pelanggan di service point ternyata tidak boleh hanya berfokus pada pelayanan saat di dalam service point, tetapi juga setelah keluar dari service point.

“Do the right at the first time“ (melakukan benar pertama kali) adalah keharusan, untuk menghindari ketidak efisienan yang mengakibatkan pelanggan harus kembali ke service point. Selain itu, menghubungi dan mengkonfirmasi kembali pelanggan untuk menanyakan kondisi produk setelah diperbaiki juga menjadi strategi yang baik sebelum pelanggan melakukan komplain.


Sumber: Majalah MARKETING, No. 02/VII/Februari/2007

Friday, August 21, 2009

Marketing Yourself

--Hermawan Kartajaya--

Membangun Segitiga PDB Bagi Diri Anda

Banyak orang yang punya potensi untuk sukses tetapi tidak mampu menikmati kesuksesan atau banyak orang yang telah sukses tetapi sesungguhnya mampu menuai kesuksesan yang jauh lebih tinggi. Hal ini karena mereka tidak mampu berpikir secara marketing. Mereka tidak berpikir secara strategis mengenai dirinya dan potensi yang dimilikinya. Mereka tidak menyikapi namanya sebagai sebuah “merek”. Mereka tidak pernah mau peduli untuk membangun core competence-nya. Apabil berbicara mengenai produk, sesungguhnya kita seperti merk yang mempunyai resource atau sumber daya yang dapat diolah dan dikembangkan.

Sumber daya yang paling dasar adalah waktu. Waktu dapat kita manfaatkan untuk hal apapun, hal yang baik maupun yang buruk. Selain itu kemampuan atau talenta yang unik yang membedakan dengan orang lain. Sumber daya tersebut harus diolah dan dikembangkan dan diolah sedemikian rupa sehingga mendatangkan value dan dapat “dipasarkan” kepada target market atau stakeholder atau dengan kata lain menjadi core competence.

Kita sebagai pribadi harus mentransformasi sumber daya yang kita miliki (waktu, talenta, etos kerja, harta) menjadi kompetensi dan akhirnya menjadi keunggulan bersaing pada diri kita. Selanjutnya setelah mengetahui keunggulan bersaing yang kita miliki, kita harus dapat memasarkan diri kepada “pasar” atau stakeholder. Untuk memasarkan tersebut Hermawan Kertajaya memberikan konsep pemasaran yang dikenal dengan konsep positioning-diferensiasi-branding (PDB) atau lebih dikenal dengan Segitiga PDB.

Elemen pertama dari Segitiga PDB adalah positioning, yaitu bagaimana mampu secara tepat memposisikan diri dibenak pelanggan atau target pasar. Kedua adalah diferensiasi, yaitu bagaimana menopang positioning yang tepat tersebut dengan diferensiasi yang kokoh. Ketiga adalah branding, yaitu bagaimana membangun ekuitas merek diri secara berkelanjutan. Hermawan menyebutkan bahwa Segitiga PDB adalah core strategy.



Positioning yang didukung dengan diferensiasi yang kokoh akan menghasilkan brand integrity yang kuat. Brand integrity yang kuat ini pada gilirannya akan menghasilkan brand image yang kuat. Sehingga pada akhirnya, brand image yang kuat akan memperkuat positioning yang telah ditentukan sebelumnya. Apabila proses di atas berjalan dengan mulus, ini akan menciptakan yang disebut self reinforcing mechanism atau proses penguatan secara terus menerus dan pada gilirannya akan menjadi landasan bagi penguatan keunggulan kompetitif. Namun jika terjadi sebaliknya yaitu positioning tidak mampu menghasilkan brand identity, diferensiasi tidak mampu menghasilkan brand integrity, dan keduanya secara bersama-sama tidak mampu membentuk brand image yang solid maka akan terjadi erosi secara terus-menerus dari keunggulan kompetitif. Proses yang pertama disebut virtous circle dan kedua disebut vicious circle.

Berikut ini contoh-contoh yang berkaitan dengan Segitiga PDB.
Contoh 1: Aa Gym, seorang yang sukses memasarkan dirinya karena memang Segitiga PDB yang dimiliknya benar-benar kokoh.
-. Positioning, Aa Gym secara cerdas dan tepat berhasil membangun positioning dirinya, yakni seorang mubaligh yang mampu menyampaikan dakwahnya secara modern dengan bahasa yang akrab, mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
-. Diferensiasi, terletak pada produk yang ditawarkannya, yakni petuah-petuah yang didasarkan pada Al Qur’an dan Al Hadist. Masalah yang disampaikan lebih menekankan pada masalah hati (qolbu), karena menurutnya hati merupakan unsur yang paling fundamental dalam kehidupan manusia.



Contoh 2: Roby Djohan, orang yang banyak makan asam garam dunia perbankan.
-. Positioning, sikap kukuh pada profesionalisme.
-. Diferensiasi, kemampuannya dalam melakukan restrukturisasi pada setiap perusahaan yang dia masuki. Leadership yang tegas, kuat, serta dukungan dari tim yang solid.



Sumber: Kartajaya, Hermawan; Marketing Yourself:Kiat Sukses Meniti Karir dan Bisnis, MarkPlus&Co, Jakarta, 2005

9 Prinsip Memasarkan Diri


1. Segmentation: View Your Market Creatively

Melihat target pasar secara kreatif inilah yang disebut segmentasi. Dengan kata lain segmentasi adalah bagaimana melihat perusahaan-perusahaan secara kreatif. Tips melihat pasar secara kreatif:
a. Harus lebih detail dalam melihat pasar. Jangan melihat secara umum, jangan melihat sebagai hutan tapi lihat sebagai pohon.
b. Kelompokkan perusahaan yang kira-kira hampir sama karakteristiknya atau orang-orang yang hampir sama karakteristiknya menjadi satu kelompok yang disebut segmen-segmen.
c. Pahami karakteristik masing-masing kelompok tersebut.

2. Targeting: Allocate Your Resources Effectively
Alokasikan sumber daya yang dimiliki seefektif mungkin. Hal ini karena sumber daya yang kita miliki terbatas. Tips mentarget pasar.
a. Lihat dulu dimana potensi dan kekuatan kita.
b. Segmen pasar yang dituju harus mempunyai potensi dimana kita mempunyai posibility yang besar untuk diterima.
c. Bidik target seperti sniper. Gunakan waktu, energi dan pikiran terutama untuk target pasar.

3. Positioning: Lead Your Customers Credibly

Pimpinlah pelanggan sampai pelanggan percaya sepenuhnya dengan anda. Positioning anda mencerminkan apa yang bias anda berikan kepada pelanggan. Tips memposisikan dan membangun kredibilitas di mata pelanggan:
a. Lihat kemampuan diri dan potensi diri.
b. Buat semua orang percaya bahwa anda memang unik.
c. Tunjanglah hal itu, kalau perlu dengan bukti-bukti dan track record.

4. Differentiation: Integrate Your Content and Context.
Content adalah apa yang menjadi isi anda. Isi tersebut tercermin dalam pendidikan, pelaman, dan lain-lain. Context adalah bungkusnya. Jadi kalau content itu about what to offer, sedangkan context adalah how to offer. Tips mengintegrasikan content dan context:
a. Tentukan kuat dimana, content atau context. Namun lebih baik apabila differensiasi dilakukan baik di content dan context.
b. Sesuaikan defferentiation dengan segmentation, targetting dan positioning.
c. Yakinkan content dan context terintegrasi dengan baik.

5. Marketing Mix: Integrate Your Offer and Access
Marketing mix meliputi 4P yaitu Product, Price, Place dan Promotion. Produk merupakan bentuk konkret dari hasil penggabungan positioning dan diferensiasi. Gabungan antara product dan price disebut dengan offer. Offer adalah apa yang ditawarkan kepada orang, dalam hal ini menawarkan servis. Sedangkan gabungan antara place dan promotion adalah access, dalam bentuk direct selling dan direct channel. Jadi dalam marketing mix yang perlu diingat adalah marketing mix merupakan cerminan diferensiasi. Jangan membuat marketing mix yang berbeda dengan diferensiasi. Tips mengintegrasikan Offer dan Access:
a. Dalam merancang marketing mix harus kembali kepada diferensiasi.
b. Susun product, price, place dan promotion yang cocok dengan diferensiasi.
c. Buat marketing mix yang gampang diterima oleh pelanggan.

6. Selling: Build Long-term Relationship with Your Customers
Selling adalah bagaimana mengintegrasikan antara anda, pelanggan anda, dan hubungan dengan pelanggan tersebut. Dalam marketing strategi meliputi prinsip segmentation, targeting dan positioning. Sedangkan taktik meliputi differentiation, marketing mix dan selling. Relationship harus terjadi terus-menerus sampai tercipta customer bonding. Jika punya bonding atau ikatan dengan pelanggan, maka ikatan tersebut lama-kelamaan bukan hanya bersifat financial bonding, tapi akan muncul emotional bonding, dan bahkan lama-kelamaan menjadi spiritual bonding.
Selling terdiri dari beberapa kategori, ada benefit selling, feature selling, dan solution selling. Tingkatan tertinggi adalah solution selling (You have a problem, please hire me. I will solve your problem, I sell solution). Tips selling yourself:
a. Harus berani selling, tapi jangan hard selling (penjualan secara terang-terangan). “Selling is about art”.
b. Juallah benefit selling, feature selling, dan solution selling.
c. Jaga relationship antara anda dan pelanggan.

7. Brand: Avoid the Commodity-Like Trap
Tips membangun merk:
a. Jangan anggap nama cuma sekedar nama.
b. Build your own brand.
c. Jaga nama baik anda. Because brand is value.

8. Service: Make Service as Your Way of Life
Tempatkan servis sebagai way of life anda. Servis memiliki tiga tingkat: intelektual, emosional, dan spiritual. Dalam tingkat intelektual, mengacu kepada service quality (ServQual), yang terdiri dari reliabel (selalu bisa diandalkan), empati (pelanggan merasa bahwa anda mengerti dia sebagai pelanggan), tangible (selalu tampil rapi). Tips melayani pelanggan:
a. Dalam tingkatan intelektual, pelajari ilmu servis supaya brand menjadi bagus.
b. Pelajari mood anda sendiri, setelah itu identifikasi mood orang lain.
c. Servis menjadi tugas kita.

9. Process: Improve Your Quality, Cost, and Delivery
Proses tidak lebih dari QCD (Quality, Cost, Delivery). Anda harus selalu berusaha untuk memberikan kualitas dengan biaya yang hemat dan delivery yang tepat waktu. Tips memperbaiki QCD :
a. Berikan servis yang konkret.
b. Berikan kualitas yang baik.
c. Ciptakan servis baru yang kreatif dan inovatif.

Sumber: Kartajaya, Hermawan; Marketing Yourself:Kiat Sukses Meniti Karir dan Bisnis, MarkPlus&Co, Jakarta, 2005

10 Karakter Unik Konsumen Indonesia

-- Handi Irawan –

1. Berpikir jangka pendek (short term perspective)
Konsumen umumnya tidak berpikir jangka panjang, mereka butuh solusi jangka pendek. Jika diberi produk yang manfaatnya baru terasa jangka panjang atau bersifat mencegah, mereka tidak mudah terbujuk. Oleh karena itu produk yang bisa mengobati secara cepat atau langsung kesasaran, lebih bisa diterima. Demikian juga dalam penyusunan strategi berkomunikasi, membuat konsumen harus berhitung dalam jangka panjang juga tidaklah tepat.
Sifat berpikir short term ini juga dipacu oleh krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Penurunan daya beli membuat konsumen harus berpikir untuk mencari solusi dalam jangka pendek dulu.

2. Tidak terencana (unplanned behaviour)
Unplanned behaviour membuat konsumen Indonesia tidak terbiasa merencanakan sesuatu jauh-jauh hari. Hal ini dapat dilihat dari kesadaran berasuransi masyarakat Indonesia relatif masih kecil karena masih sulit bagi konsumen Indonesia untuk merencanakan sesuatu yang mungkin bermanfaat berpuluh-puluh tahun lagi.

3. Suka berkumpul (like to socialize)

Karakter seperti ini dapat dimanfaatkan untuk menjalankan strategy word of mouth (WOM). Apalagi orang Indonesia orang yang sangat sosial. Ini menjadi tempat WOM yang bagus. WOM perlu mempertimbangkan banyak hal, para marketer harus benar-benar memahami para calon customernya. Bahasa marketing berbeda dengan bahasa perusahaan, bahasa marketing adalah bahasa yang digunakan masyarakat itu sendiri.
Satu hal yang terkandung dalam WOM adalah story telling, cerita ini menjadi bumbu menarik sebuah promosi. Advertising membangkitkan kesadaran orang, tetapi WOM tetap menjadi sebuah faktor yang menentukan, karena orang yang ingin membeli produk dipengaruhi oleh referensi dari orang lain. Yang tidak boleh dilupakan dalam WOM adalah kredibilitas. Tidak ada alat ukur pasti untuk WOM, namun perusahaan bisa melihat dari sisi penjualan.

4. Gagap teknologi (not adaptive to high tecnology)
Tidak semua konsumen mempunyai sifat seperti ini, konsumen untuk segmen atas sudah mulai technology oriented. Penetrasi teknologi di Indonesia yang cukup kecil menunjukkan bahwa konsumen Indonesia masih “gaptek”, jadi sebaiknya tidak menjadi pioner di sini. Rendahnya tingkat penetrasi produk teknologi tinggi ini berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat kita. Pasar yang mampu menyerap teknologi tinggi memang relatif tidak besar.
Untuk mengatasi daya beli yang tidak cukup tinggi marketer bisa mengusung strategi price bundling. Bila menjadi pionir untuk suatu teknologi yang baru, marketer bisa menetapkan skimming price. Jurus mematok harga tinggi ini bisa dijalankan oleh merek yang punya competitive advantage dalam teknologi baru. Namun kelemahannya hal itu biasanya tidak berlangsung lama karena ditiru oleh pemain-pemain lain.
Dalam pasar teknologi, timing is everything, momentumnya harus tepat, tidak boleh terlalu cepat dan tidak boleh terlalu lambat. Untuk proses ini dibutuhkan seseorang yang mampu observasi dan pengalaman yang cukup lama.
Strategi lain adalah menetapkan positioning. Untuk produk tingkat tinggi harus diposisikan sebagai produk yang relative simple.

5. Berorientasi pada konteks (context oriented)
Konsumen Indonesia cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi suatu hal justru menarik ketimbang hal itu sendiri. Kurangnya minat pada hal-hal yang berisi informasi “berat” juga berdampak pada daya kritis masyarakat kita. Kecenderungan ini mengakibatkan konsumen Indonesia mudah menerima informasi tanpa ada mekanisme untuk mempertanyakan kembali informasi tersebut. Segala sesuatu yang ditampilkan oleh media diterima sebagai sesuatu yang sudah final. Sehingga ketika ada fakta lain yang muncul, maka responnya akan tetap menerima dan melupakan sebelumnya.
Tiga ciri spesifik konsumen kita yang terkait dengan budaya menyerap informasi:
a. Memiliki minat baca yang rendah
b. Memilih segala sesuatu-baik dari membaca maupun menonton-yang ringan dan menghibur.
c. Mudah diubah persepsinya.

6. Suka merk luar negri (respective to COO-Country Of Origin-effect)
Image dan kualitas merek luar negeri dipersepsi lebih baik dan bergengsi dibandingkan buatan Indonesia. Masalah gengsi adalah sifat konsumen Indonesia. Mereka mempergunakan negara sebagai dasar strategi merek dan positioning. Yang jelas-jelas tertuang dari ide COO ini adalah harapan untuk menetapkan harga premium. Seperti dijelaskan sebelumnya, sebuah merek yang dipersepsi berasal dari dari sebuah negara yang punya kekuatan pada kategori produk dari merek tersebut, akan memiliki persepsi kualitas yang tinggi. Persepsi kualitas sendiri mempunyai hubungan yang searah dengan harga. Artinya tingginya persepsi kualitas ini akan membuka peluang untuk menciptakan harga premium.

7. Religius (religious)


8. Gengsi
Menurut Handi Irawan, ada tiga budaya dan norma di masyarakat Indonesia yang menyebabkan gengsi.
a. Konsumen Indonesia suka bersosialisasi, ini kemudian mendorong untuk pamer atau tergoda untuk saling pamer.
b. Konsumen kita masih menganut budaya feodal yang menciptakan kelas-kelas sosial. Akhirnya terjadi ”pemberontakan” untuk cepat pindah kelas.
c. Masyarakat Indonesia mengukur keberhasilan dan ksuksesan dengan materi dan jabatan. Akibatnya, banyak diantara konsumen yang ingin menunjukkan kesuksesan dengan cara memperlihatkan materi yang dimiliki.
Karakter gengsi ini bisa dijelaskan dengan memakai teori Maslow tentang lima level kebutuhan manusia. Menurutnya, kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisik seperti makanan dan minuman. Setelah itu, kebutuhan yang bersifat keamanan dan kenyamanan dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya adalah kebutuhan bersosialisasi. Level keempat (self esteem), manusia sudah menempatkan gengsi, status dan pencapaian sebagai kebutuhan utama. Sedang pada level kelima atau tertinggi (self actualization), manusia sudah mulai mengisi kebutuhan sesuai dengan kebutuhan mereka dan berbagai dengan orang lain.
Produk yang menjual gengsi adalah produk yang menawarkan ”emotional value” guna memenuhi kebutuhan self-esteem, yaitu kepuasan konsumen untuk meningkatkan status mereka di mata orang lain (gengsi). Sebagian besar dari orang kaya di Indonesia, biasanya lebih fokus kepada self-esteem, bukan self actualization.

9. Kuat di subkultur (strong in subculture)

Budaya lokal dan kekuatan etnis di Indonesia masih cukup besar. Namun demikian, penggarapannya perlu berhati-hati, karena ada nilai-nilai yang tidak sama di setiap suku bangsa. Sekalipun konsumen Indonesia gengsi dan menyukai produk luar negeri, namun unsur fanatisme kedaerahannya ternyata cukup tinggi. Hal itu memang sudah menjadi subculture dan kita tidak bisa mengenarilisasikannya, sudah menjadi kekayaan kebudayaan kita. Ada produk tertentu yang cukup dominan di sebuah daerah tertentu.

10. Kurang peduli lingkungan (low conciousness towards enviroment)
Kalaupun ingin memasukkan elemen ramah lingkungan, marketer bisa memulai dari produk-produk untuk kalangan menengah-atas. Kelompok ini lebih mudah paham dengan isu lingkungan. Lagipula mereka pun memiliki daya beli terhadap harga premium. Bila ingin mengkomunikasikan faktor lingkungan sebagai elemen positioning produk, hendaknya hal itu dikemas dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Hindari menggunakan bahasa teknis yang justru membingungkan konsumen.

Karakter konsumen bisa saja berubah dan banyak faktor yang bisa mengubahnya. Arus informasi dan proses edukasi bisa mengubah karakter konsumen. Dengan semakin membaiknya pendidikan di sekolah-sekolah, kesadaran akan lingkungan juga bisa membaik. Sebagian orang Indonesia juga sudah semakin melek teknologi.

Ketika marketer membangun strategi pemasaran, marketer tidak boleh salah dalam menilai konsumennya. Contohnya, orang Indonesia jangan dikasih iklan-iklan yang terlalu sulit untuk dimengerti. Pakailah strategi komunikasi yang sederhana. Contoh lain, konsumen Indonesia perlu diberikan pelayanan yang fleksible. Kalau marketer menciptakan pelayanan dengan aturan-aturan yang terlalu kaku, sudah pasti tidak tepat bagi konsumen Indonesia.


Sumber: Majalah Merketing, Edisi Khusus/II/2007