Kesigapan petugas dalam melayani pelanggan, penguasaan product knowledge, keakuratan pelayanan serta komunikasi merupakan sebagian atribut parameter “people”. Strategi yang banyak dilakukan oleh perusahaan penyedia layanan dalam masalah people ini umumnya tidak lebih dari masalah training dan pemberian benefit. Training bertujuan meningkatkan kemampuan soft skills (komunikasi, interaksi, dan lain-lain) maupun hard skills (menangani pelanggan, menjelaskan produk, dan lain-lain). Sedangkan benefit bertujuan meningkatkan semangat dan loyalitas bekerja.
Di luar itu, strategi yang harus dibangun adalah bagaimana menciptakan “empowerment” bagi para frontliner. Hampir sebagian frontliners tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengambil keputusan di luar hal-hal yang sudah tercantum dalam standard layanan. Keramahan memang penting dalam pelayanan, namun keramahan tidak akan berarti jika frontliners tidak mampu menangani hal-hal khusus atau luar biasa yang berbeda dengan rutinitas biasa.
Tanpa adanya empowerment, pekerjaan menjadi lambat dan membuat ketidakpuasan pelanggan. Karyawan memiliki wewenang dapat dilihat dalam derajatnya.
Pertama: Empowerment bersifat suggestion (memberi saran), frontliners yang memiliki wewenang ini hanya dapat memberikan saran yang terkait “job environment” dimana dia berada, namun dia tidak bisa melakukan tindakan apabila terjadi kasus.
Kedua: Empowerment bersifat “job involvement” dimana frontliners dapat mengevaluasi pekerjaan yang mereka lakukan dan mengambil peran dalam job environment mereka. Pada tingkat–tingkat keputusan yang kecil mereka sudah dapat melakukan hal itu.
Ketiga: Empowerment bersifat “high involvement”, dimana mereka sudah dapat mengatur pekerjaan mereka sendiri. Ciri ini biasanya terdapat pada frontliners yang berhubungan secara jangka panjang dengan pelanggan. Para frontliner yang menangani nasabah-nasabah besar harus memiliki high involvement, oleh karena itu pendidikan , pelatihan yang intensif dan benefit yang tepat harus diberikan kepada fronliner tipe ini.
Empowerment biasanya juga dibutuhkan pada saat terjadinya keluhan. Kemampuan service point dalam menyelesaikan keluhan dan menciptakan service recovery menjadi faktor pendorong pelanggan puas atau tidak. Berdasarkan sebuah penelitian di AS, sebagian besar dari komplain bukan bertujuan mendapatkan kondisi yang benar-benar diinginkan. Sebagian besar komplain ternyata hanya umpatan kekesalan, dan karenanya lebih membutuhkan penanganan yang baik dibandingkan mengembalikan pada keadaan semula.
Namun, sekalipun pelanggan tidak menuntut hasil akhir yang sempurna, pelanggan tetap menuntut apa yang menjadi harapan. Termasuk pula pada penyelesaian akhir dari sebuah service process, pelanggan bisa menjadi tidak puas – meskipun pada saat berada di contact point ia merasa puas. Jadi dalam hal ini ada dua dimensi yang berbeda dalam mengukur kepuasan di service point. Kepuasan pada saat layanan diberikan dan kepuasan sesudah layanan diberikan (after sales service). Karena itu, menjalankan strategi kepuasan pelanggan di service point ternyata tidak boleh hanya berfokus pada pelayanan saat di dalam service point, tetapi juga setelah keluar dari service point.
“Do the right at the first time“ (melakukan benar pertama kali) adalah keharusan, untuk menghindari ketidak efisienan yang mengakibatkan pelanggan harus kembali ke service point. Selain itu, menghubungi dan mengkonfirmasi kembali pelanggan untuk menanyakan kondisi produk setelah diperbaiki juga menjadi strategi yang baik sebelum pelanggan melakukan komplain.
Sumber: Majalah MARKETING, No. 02/VII/Februari/2007
Seminar Nasional Statistik STIS, 3 Oktober 2011
13 years ago
1 comment:
Membaca artikel ini, saya jadi tersenyum. Mengapa? karena dalam artikel ini digambarkan teori nya saja. Pada prakteknya, konsep pelayanan yang baik sangat sulit dilakukan. Bila dapat dilakukan pun ternyata sering tidak secara konsisten. Saya sendiri tidak tahu bagaimana cara membuat konsistensi terhadap sesuatu hal...
salam,
Bolehngeblog
Post a Comment