-- Handi Irawan –1. Berpikir jangka pendek (short term perspective) Konsumen umumnya tidak berpikir jangka panjang, mereka butuh solusi jangka pendek. Jika diberi produk yang manfaatnya baru terasa jangka panjang atau bersifat mencegah, mereka tidak mudah terbujuk. Oleh karena itu produk yang bisa mengobati secara cepat atau langsung kesasaran, lebih bisa diterima. Demikian juga dalam penyusunan strategi berkomunikasi, membuat konsumen harus berhitung dalam jangka panjang juga tidaklah tepat.
Sifat berpikir short term ini juga dipacu oleh krisis ekonomi yang dialami Indonesia. Penurunan daya beli membuat konsumen harus berpikir untuk mencari solusi dalam jangka pendek dulu.
2. Tidak terencana (unplanned behaviour) Unplanned behaviour membuat konsumen Indonesia tidak terbiasa merencanakan sesuatu jauh-jauh hari. Hal ini dapat dilihat dari kesadaran berasuransi masyarakat Indonesia relatif masih kecil karena masih sulit bagi konsumen Indonesia untuk merencanakan sesuatu yang mungkin bermanfaat berpuluh-puluh tahun lagi.
3. Suka berkumpul (like to socialize) Karakter seperti ini dapat dimanfaatkan untuk menjalankan strategy word of mouth (WOM). Apalagi orang Indonesia orang yang sangat sosial. Ini menjadi tempat WOM yang bagus. WOM perlu mempertimbangkan banyak hal, para marketer harus benar-benar memahami para calon customernya. Bahasa marketing berbeda dengan bahasa perusahaan, bahasa marketing adalah bahasa yang digunakan masyarakat itu sendiri.
Satu hal yang terkandung dalam WOM adalah story telling, cerita ini menjadi bumbu menarik sebuah promosi. Advertising membangkitkan kesadaran orang, tetapi WOM tetap menjadi sebuah faktor yang menentukan, karena orang yang ingin membeli produk dipengaruhi oleh referensi dari orang lain. Yang tidak boleh dilupakan dalam WOM adalah kredibilitas. Tidak ada alat ukur pasti untuk WOM, namun perusahaan bisa melihat dari sisi penjualan.
4. Gagap teknologi (not adaptive to high tecnology) Tidak semua konsumen mempunyai sifat seperti ini, konsumen untuk segmen atas sudah mulai technology oriented. Penetrasi teknologi di Indonesia yang cukup kecil menunjukkan bahwa konsumen Indonesia masih “gaptek”, jadi sebaiknya tidak menjadi pioner di sini. Rendahnya tingkat penetrasi produk teknologi tinggi ini berhubungan dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat kita. Pasar yang mampu menyerap teknologi tinggi memang relatif tidak besar.
Untuk mengatasi daya beli yang tidak cukup tinggi marketer bisa mengusung strategi price bundling. Bila menjadi pionir untuk suatu teknologi yang baru, marketer bisa menetapkan skimming price. Jurus mematok harga tinggi ini bisa dijalankan oleh merek yang punya competitive advantage dalam teknologi baru. Namun kelemahannya hal itu biasanya tidak berlangsung lama karena ditiru oleh pemain-pemain lain.
Dalam pasar teknologi, timing is everything, momentumnya harus tepat, tidak boleh terlalu cepat dan tidak boleh terlalu lambat. Untuk proses ini dibutuhkan seseorang yang mampu observasi dan pengalaman yang cukup lama.
Strategi lain adalah menetapkan positioning. Untuk produk tingkat tinggi harus diposisikan sebagai produk yang relative simple.
5. Berorientasi pada konteks (context oriented) Konsumen Indonesia cenderung menilai dan memilih sesuatu dari tampilan luarnya. Dengan begitu, konteks-konteks yang meliputi suatu hal justru menarik ketimbang hal itu sendiri. Kurangnya minat pada hal-hal yang berisi informasi “berat” juga berdampak pada daya kritis masyarakat kita. Kecenderungan ini mengakibatkan konsumen Indonesia mudah menerima informasi tanpa ada mekanisme untuk mempertanyakan kembali informasi tersebut. Segala sesuatu yang ditampilkan oleh media diterima sebagai sesuatu yang sudah final. Sehingga ketika ada fakta lain yang muncul, maka responnya akan tetap menerima dan melupakan sebelumnya.
Tiga ciri spesifik konsumen kita yang terkait dengan budaya menyerap informasi:
a. Memiliki minat baca yang rendah
b. Memilih segala sesuatu-baik dari membaca maupun menonton-yang ringan dan menghibur.
c. Mudah diubah persepsinya.
6. Suka merk luar negri (respective to COO-Country Of Origin-effect) Image dan kualitas merek luar negeri dipersepsi lebih baik dan bergengsi dibandingkan buatan Indonesia. Masalah gengsi adalah sifat konsumen Indonesia. Mereka mempergunakan negara sebagai dasar strategi merek dan positioning. Yang jelas-jelas tertuang dari ide COO ini adalah harapan untuk menetapkan harga premium. Seperti dijelaskan sebelumnya, sebuah merek yang dipersepsi berasal dari dari sebuah negara yang punya kekuatan pada kategori produk dari merek tersebut, akan memiliki persepsi kualitas yang tinggi. Persepsi kualitas sendiri mempunyai hubungan yang searah dengan harga. Artinya tingginya persepsi kualitas ini akan membuka peluang untuk menciptakan harga premium.
7. Religius (religious)8. Gengsi Menurut Handi Irawan, ada tiga budaya dan norma di masyarakat Indonesia yang menyebabkan gengsi.
a. Konsumen Indonesia suka bersosialisasi, ini kemudian mendorong untuk pamer atau tergoda untuk saling pamer.
b. Konsumen kita masih menganut budaya feodal yang menciptakan kelas-kelas sosial. Akhirnya terjadi ”pemberontakan” untuk cepat pindah kelas.
c. Masyarakat Indonesia mengukur keberhasilan dan ksuksesan dengan materi dan jabatan. Akibatnya, banyak diantara konsumen yang ingin menunjukkan kesuksesan dengan cara memperlihatkan materi yang dimiliki.
Karakter gengsi ini bisa dijelaskan dengan memakai teori Maslow tentang lima level kebutuhan manusia. Menurutnya, kebutuhan yang paling dasar adalah kebutuhan fisik seperti makanan dan minuman. Setelah itu, kebutuhan yang bersifat keamanan dan kenyamanan dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya adalah kebutuhan bersosialisasi. Level keempat (self esteem), manusia sudah menempatkan gengsi, status dan pencapaian sebagai kebutuhan utama. Sedang pada level kelima atau tertinggi (self actualization), manusia sudah mulai mengisi kebutuhan sesuai dengan kebutuhan mereka dan berbagai dengan orang lain.
Produk yang menjual gengsi adalah produk yang menawarkan ”emotional value” guna memenuhi kebutuhan self-esteem, yaitu kepuasan konsumen untuk meningkatkan status mereka di mata orang lain (gengsi). Sebagian besar dari orang kaya di Indonesia, biasanya lebih fokus kepada self-esteem, bukan self actualization.
9. Kuat di subkultur (strong in subculture) Budaya lokal dan kekuatan etnis di Indonesia masih cukup besar. Namun demikian, penggarapannya perlu berhati-hati, karena ada nilai-nilai yang tidak sama di setiap suku bangsa. Sekalipun konsumen Indonesia gengsi dan menyukai produk luar negeri, namun unsur fanatisme kedaerahannya ternyata cukup tinggi. Hal itu memang sudah menjadi subculture dan kita tidak bisa mengenarilisasikannya, sudah menjadi kekayaan kebudayaan kita. Ada produk tertentu yang cukup dominan di sebuah daerah tertentu.
10. Kurang peduli lingkungan (low conciousness towards enviroment) Kalaupun ingin memasukkan elemen ramah lingkungan, marketer bisa memulai dari produk-produk untuk kalangan menengah-atas. Kelompok ini lebih mudah paham dengan isu lingkungan. Lagipula mereka pun memiliki daya beli terhadap harga premium. Bila ingin mengkomunikasikan faktor lingkungan sebagai elemen positioning produk, hendaknya hal itu dikemas dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Hindari menggunakan bahasa teknis yang justru membingungkan konsumen.
Karakter konsumen bisa saja berubah dan banyak faktor yang bisa mengubahnya. Arus informasi dan proses edukasi bisa mengubah karakter konsumen. Dengan semakin membaiknya pendidikan di sekolah-sekolah, kesadaran akan lingkungan juga bisa membaik. Sebagian orang Indonesia juga sudah semakin melek teknologi.
Ketika marketer membangun strategi pemasaran, marketer tidak boleh salah dalam menilai konsumennya. Contohnya, orang Indonesia jangan dikasih iklan-iklan yang terlalu sulit untuk dimengerti. Pakailah strategi komunikasi yang sederhana. Contoh lain, konsumen Indonesia perlu diberikan pelayanan yang fleksible. Kalau marketer menciptakan pelayanan dengan aturan-aturan yang terlalu kaku, sudah pasti tidak tepat bagi konsumen Indonesia.
Sumber: Majalah Merketing, Edisi Khusus/II/2007